MENGENALI GEJALA PENYAKIT BUSUK BATANG PADA SEMANGKA DAN MELON SERTA CARA PENGENDALIANNYA

Oleh : Kardi Raharjo

PENDAHULUAN

Penyakit Busuk Batang (gummy stem blight) banyak dijumpai pada tanaman semangka dan melon serta tanaman anggota famili Cucurbitaceae yang lain seperti ketimun, labu, gambas dan lain-lain. Patogen penyakit ini dapat menyerang batang, daun, buah, dan bibit. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit utama pada semangka dan melon, terutama pada musim penghujan, kelembapan udara yang tinggi, dan pada lahan yang kurang baik drainasenya.

GEJALA PENYAKIT

Gambar 1. Gejala pada daun semangka

Gambar 2. Gejala pada daun melon

Gambar 3. Gejala pada pangkal batang semangka

Gambar 4. Gejala pada batang semangka bagian atas

Gambar 5. Gejala pada buah semangka

Gambar 6. Gejala pada buah melon

PENYEBAB PENYAKIT

Penyakit disebabkan oleh jamur Didymella bryoniae (sexual stage), Phoma cucurbitacearum (asexual/anamorph stage).

PENYEBARAN PENYAKIT

Jamur patogen penyebab penyakit ini ditularkan melalui tanah (soil borne) dan melalui benih (seeds borne). Patogen juga dapat disebarkan melalui air irigasi dan udara. Patogen dapat bertahan di dalam tanah tanpa tanaman inang selama satu tahun. Patogen dapat bertahan lama di dalam tanah karena membentuk spora berdinding tebal yang disebut klamidospora.

PENGENDALIAN PENYAKIT

Pengendalian menggunakan pendekatan konsep Pengendalian Hama Terpadu (Integrated Pest Management).

  1. Penggunaan benih sehat.
  2. Jarak tanam 70 x 60 cm
  3. Pergiliran tanaman dengan tanaman yang bukan anggota famili Cucurbitacea, kalau memungkinkan dengan padi.
  4. Pembuatan selokan pembuangan air yang baik, sehingga air hujan maupun sisa air pengairan dapat mengalir dengan cepat keluar dari lahan. Hindari terjadinya genangan air pada selokan maupun pada permukaan mulsa plastik.
  5. Pemusnahan (eradikasi) bagian tanaman atau seluruh tanaman yang sakit dan dibakar di luar lahan.
  6. Penggunaan fungisida untuk perlakuan benih dengan fungisida berbahan aktif benomil atau metalaksil. Bila diperlukan tanaman dapat disemprot dengan fungisida berbahan aktif yang mengandung tembaga, mankozeb, atau metalaksil.

Please visit and subscribe my YouTube Channel, so your comment are not be deleted from my articles :

https://www.youtube.com/channel/UCkxHAj1EOglKbk9fX4-H3rg



 



PENGARUH WAKTU APLIKASI TRICHODERMA HARZIANUM TERHADAP PENYAKIT LAYU JAMUR PADA CABAI

Oleh : Kardi Raharjo

PENDAHULUAN

Penyakit layu jamur yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum Schlecht. merupakan salah satu penyakit utama pada tanaman cabai. Menurut Hutagalung (1984 cit. Semangun 1989) lebih kurang 8 % dari tanaman cabai di pulau Jawa mati karena penyakit ini.

Jamur F. oxysporum penyebab layu pada tanaman cabai merupakan patogen tular tanah yang menyerang pembuluh xylem tanaman. Karena patogen berada dalam jaringan pembuluh maka penyakit ini sulit dikendalikan dengan fungisida.

Penggunaan jamur Trichoderma harzianum mempunyai prospek yang baik untuk pengendalian penyakit layu jamur pada cabai. Banyak peneliti dan praktisi yang melaporkan bahwa T. harzianum efektif untuk mengendalikan F. oxysporum yang menyerang cabai maupun tanaman lain (Wells, 1986; Sumardiyono, 2001; Susetyohari et al., 2001; Sundheim dan Tronsmo, 1986; Sulistyorini et al.,1997; Nurkhasanah, 1999; Mehrotra et al., 1986; Kotin dan Finkler, 1993; Harman dan Hayes,1993). T. harzianum dapat menekan perkembangan penyakit lewat mekanisme antibiosis, kompetisi, dan parasitisme serta dapat berperanan sebagai elisitor (elicitor) dalam mekanisme ketahanan terimbas (induced resistence).

Waktu aplikasi adalah salah satu aspek penting yang menentukan efektifitas dan efisiensi pengendalian penyakit layu jamur pada cabai menggunakan T. harzianum. Untuk itu, Laboratorium PHPTPH Wilayah Kedu bekerja sama dengan Susmiyati Jiwaningrum, mahasiswa Fakultas Pertanian UNWAMA telah melakukan kajian untuk mengetahui pengaruh waktu aplikasi tersebut.

BAHAN DAN METODE

Penelitian  dilaksanakan di rumah kaca Laboratorium PHPTPH  Wilayah Kedu, di Temanggung, Jawa Tengah, dengan ketinggian tempat 430 m dpl. Waktu berlangsungnya penelitian pada bulan Oktober 2001 sampai dengan Januari 2002.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini: biakan murni jamur    Tricoderma harzianum, isolat jamur Fusarium oxysporum, benih cabe varietas Hot Chili, tanah steril,pupuk urea, KCL, dan SP-36, Polybag.

Alat yang digunakan: Inkas, haemositometer, petridis, pengaduk gelas, gelas ukur, erlenmeyer, tabung reaksi, pipet, gelas obyek, gelas penutup, lampu sepiritus, pinset, jarum oze, mikroskop binokuler, kertas saring, kapas, corong gelas, timbangan.

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap ( RAL ) dengan lima perlakuan yang diulang tiga kali.

T0  = Kontrol

T1 = Aplikasi T. harzianum pada 5 hari sebelum tanam

T2  = Aplikasi T. harzianum  bersamaan dengan waktu tanam

T3 = Aplikasi T. harzianum pada 5 hari setelah tanam

T4 = Aplikasi T. harzianum pada 15 hari setelah tanam

Setiap tanaman diaplikasi dengan suspensi T. harzianum konsentrasi 108 konidia/ml volume 100 ml dengan cara menyiramkan pada media tanam dalam polibag.  Setiap unit perlakuan terdiri dari 10 tanaman.

Inokulasi patogen F. oxysporum dilakukan pada 10 hari sebelum tanam dengan konsentrasi 105 konidia/ml  volume 50 ml dengan cara menyiramkannya pada media tanam kemudian diaduk merata.

Pengamatan dilakukan tiap minggu sekali pada tanaman umur satu sampai dengan sembilan minggu. Parameter yang diamati adalah masa inkubasi dan intensitas penyakit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Masa inkubasi penyakit layu

Tabel 1. Rata-rata masa inkubasi penyakit layu F. oxysporum pada tanaman cabai yang diinokulasikan  dengan jamur T. harzianum

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada  uji BNT taraf 5 %.

Dari data pada tabel 1 menunjukkan bahwa semakin awal T. harzianum diaplikasikan akan menyebabkan masa inkubasi penyakit semakin panjang. Hal ini menunjukkan bahwa T. harzianum yang diperlakukan lebih awal dapat menekan laju infeksi (infection rate) lebih kuat. Fenomena ini diduga disebabkan inokulum primer T. harzianum telah membentuk inokulum skunder sehingga kemampuan menekan patogen lewat mekanisme antibiosis, parisitisme, dan kompetisi menjadi semakin kuat.

Selisih masa inkubasi pada perlakuan kontrol dengan perlakuan 5 hari sebelum tanam mencapai 26,67 hari, sedangkan selisih perlakuan kontrol dengan perlakuan 5 hari setelah tanam hanya 18,67 hari. Dengan demikian korelasi antara variabel waktu aplikasi dengan masa inkubasi tidak bersifat linier, dimana faktor waktu sebelum tanam (sebelum terjadi infeksi) pengaruhnya lebih kuat dibandingkan dengan faktor waktu sesudah tanam (sesudah terjadi infeksi) dalam hal menekan laju infeksi. Hal ini diduga karena timbulnya ketahanan terimbas (induced resistance) pada tanaman cabai oleh T. harzianum yang berperanan sebagai elisitor (elicitor). Seperti telah diketahui bahwa pengimbasan oleh elisitor dapat terjadi pada tanaman yang belum terinfeksi oleh patogen ( Lyon dan Newton, 1999; Tuzun dan Bent, 1999; Constabel, 1999).

Intensitas serangan

Tabel 2. Rata-rata Intensitas serangan penyakit layu F. oxysporum pada tanaman cabai yang diaplikasi dengan T. harzianum

Keterangan  : Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing kolom menunjukkan tidak beda nyata menurut uji uji BNT taraf 5 %.

Data pada tabel 2 menunjukkan bahwa T. harzianum  yang diaplikasikan semakin awal memberikan hasil pengendalian yang semakin tinggi, yang ditunjukkan oleh intensitas serangan yang semakin rendah. Korelasi antara waktu aplikasi dengan intensitas serangan juga tidak bersifat linier, sama seperti yang terjadi pada masa inkubasi. Diduga mekanismenya juga sama dengan yang terjadi pada parameter masa inkubasi.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat  diambil kesimpulan :

  1. Jamur T. harzianum dapat menghambat laju perkembangan penyakit layu pada cabai yang disebabkan oleh jamur  F. oxysporum melalui mekanisme memperpanjang masa inkubasi dan menurunkan intensitas serangan.
  2. Waktu aplikasi T. harzianum yang paling efektif adalah saat sebelum terjadi infeksi oleh patogen.

DAFTAR PUSTAKA

Constabel, C. P. 1999. A Survey of Herbivore-Inducible Defensive Proteins and Phytochemicals. In A. A. Agrawal, S. Tuzun, and E. Bent (Eds.). Induced Plant Defenses Against Pathogens and Herbivores. APS Press. St. Paul, Minnesota. 137166 pp.

Harman, G. E. and C. K. Hayes. 1993. The Genetic Nature and Biocontrol Ability of Progeny From Protoplast Fusion in Trichoderma. Dalam I. Chet (Ed.). Biotechnology in Plant Disease Control. Dep. Of Plant Pathology and Mycrobiology, The Hebrew Univ. of Jerusalem, Faculty of Agriculture, Rehovot, Israel. 237-255 pp.

Kotin, Y., I. Ginzberg, and A. Finkler. 1993. Fungal “killer” Toxin As Potential Agents For Biocontrol. In  I. Chet (Ed.). Biotechnology in Plant Diseases Control. Wiley-Liss. John Wiley & Sons, Inc. New York. 257-274 pp.

Lyon, G. D.  dan A. C. Newton. 1999. Implementation of Elicitor Mediated Induced Resistence in Agriculture. In A. A. Agrawal, S. Tuzun, and E. Bent (Eds.). Induced Plant Defenses Against Pathogens and Herbivores. APS Press. St. Paul, Minnesota. 299-318 pp.

Mehrotra, R. S., K. R. Aneja, A. K. Gupta, and A. Aggarwal. 1986. Fungi, As Agents of Biological Control. Dalam K. G. Mukerji and K. L. Garg. Biocontrol of Plant Disease. Vol. 1. CRC Press. Boca Raton, Florida. 37-52 pp.

Nurkhasanah. L. 1999. Kajian variasi Dosis Tricoderma harzianum dan Intensitas Penyinaran terhadap pertumbuhan Vanili dan Perkembangan Penyakit Busuk Batang Vanili.Skripsi Fakultas Pertanian UNWAMA. Yogyakarta.

Sulistyorini, Mulyadi dan Sulistyowati. 1997. Antagonisme jamur Trichoderma sp. dengan jamur Fusarium oxysporum pada tanaman pisang di rumah kaca. Risalah Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia.

Sumardiyono, C. 2001. Penyakit Layu Fusarium Pisang dan Cara Pengendaliannya. Apresiasi Pengendalian OPT dan Penyakit Layu Pisang. Tanggal 21 Juni 2001 di Bantul, Yogyakarta.

Sundheim, L. and Tronsmo, A. 1986. Hyperparasites in  Biological Control. In K. G. Mukerji and K. L. Garg. Biocontrol of Plant Disease Vol. 1. CRC Press. Inc. Boca Raton, Florida. 53-69 pp.

Susetyohari, Nasikin, dan Yuliastuti. 2001. OPT Utama Tanaman Pisang dan Hasil Kajian Pengendaliannya di Jawa Timur. Apresiasi Pengendalian OPT dan Penyakit Layu Pisang. Tanggal 21 Juni 2001 di Bantul, Yogyakarta.

Tuzun, S. dan E. Bent. 1999. The Role of Hydrolytic Enzyme in Multigenic and Microbially-Induced Resistence in Plants. In A. A. Agrawal, S. Tuzun, and E. Bent (Eds.). Induced Plant Defenses Against Pathogens and Herbivores. APS Press. St. Paul, Minnesota. 95-115 pp.

Wells, H. D. 1986. Trichoderma as A Biocontrol Agent. In K. G. Mukerji and K. L. Gang. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. 71-82 p

Please visit and subscribe my YouTube Channel, so your comment are not be deleted from my articles :

https://www.youtube.com/channel/UCkxHAj1EOglKbk9fX4-H3rg







 

 

 

 

PENGENDALIAN KUMBANG DAUN KEDELAI MENGGUNAKAN JAMUR BEAUVERIA BASSIANA

PENDAHULUAN

Kumbang daun kedelai (Phaedonia inclusa) adalah merupakan salah satu jenis OPT utama pada kedelai. Hama ini dapat menyerang tanaman sejak tanaman muncul diatas permukaan tanah sampai menjelang panen. Hampir seluruh bagian tanaman kedelai dapat terserang hama ini yakni meliputi daun, pucuk, ranting muda dan polong yang siap panen (Anonim, 1992) (Gambar 1).

Gambar 1. Gejala serangan (kiri), Phaedonia inclusa dewasa

Beauveria bassiana merupakan agen hayati yang sudah dikenal efektif untuk mengendalikan banyak spesies serangga hama anggota ordo Coleoptera, (Barnett dan Barry, 1972; Barron dan Krieger, 1972; Hoffman, 1993; Steinhaus, 1949; Roberts dan Yendol. 1971) sehingga diduga juga efektif terhadap kumbang daun kedelai. Dalam penelitian ini telah diuji pengerauh konsentrasi konidia B. bassiana dan waktu aplikasinya.

Penelitian ini dilaksanakan bekerja sama dengan Woro Budi Hastuti, mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di rumah kaca Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit Tanaman Pangan Wilayah Kedu. Penelitian dilaksanakan pada bulan November 1995  sampai dengan bulan Pebruari 1996.

Bahan

  1.  Benih biji kedelai varietas Lokon, pupuk kandang, NPK, fungisida
  2. Biakan jamur Beauveria bassiana, media nasi, PDA, tanah, air steril, formalin, Chloramphenycol

Alat

  1.  Inkubator, gelas beaker, pipet, pengaduk kaca, pingset, haemositometer, mikroskop, hand counter, kertas saring, kapas, timbangan analitis
  2. Polybag, sprayer tangan, mulsa plastik, jala penjaring, kain kasa, lakban, ajir, karet, dan lain-lain.

Metode

Penelitian dilaksanakan dengan rancangan acak lengkap ( RAL ) faktorial yang terdiri dari dua faktor:

Faktor I, konsentrasi konidia:

  • K0 : kontrol
  • K1 : 10^6 konidia/ml
  • K2 : 10^8 konidia/ml
  • K3 : 10^10 konidia/ml

Faktor II, waktu Aplikasi

  • T1 : tiga hari sebelum  serangga diinfestasikan
  • T2 : 30 menit sebelum serangga diinfestasikan
  • T3 : 30 menit setelah serangga diinfestasikan
  • T4 : tiga hari setelah serangga diinfestasikan

Setiap tanaman disemprot 10 ml suspensi konidia secara merata pada seluruh bagian tanaman. Investasi serangga dilakukan pada tanaman  umur 30 hari setelah tanam dengan  10 larva P. inclusa tiap tanaman

Pengamatan dilakukan setiap hari mulai 1 sampai dengan 14 hari hari setelah investasi serangga. Parameter yang diamati adalah mortalitas P. inclusa.

HASIL  DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Rata-rata mortalitas P. inclusa (%) pada hari ke 14 setelah perlakuan.

Keterangan :

  • K0: kontrol; K1: konsentrasi 10^6 konidia/ml; K2 : Konsentrasi 10^8 Konidia/ml; K3: konsentrasi 10^10 konidia/ml; T1: aplikasi tiga hari sebelum:T2: 30 menit sebelum; T3: 30 menit setelah, dan T4: 3 hari setelah serangga diinfestasikan.
  • Nilai rata-rata perlakuan dalam kolom atau baris yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf uji 5 %.

Dari analisis data pada tabel 1 tampak bahwa konsentrasi konidia B. bassiana berpengaruh nyata terhadap tingkat mortalitas kumbang daun kedelai. Konsentrasi yang paling efektif adalah 10^8 konidia/ml. Tingkat mortalitas yang mengalami penurunan pada perlakuan dengan konsentrasi 10^10 konidia/ml dibandingkan dengan konsentrasi 10^8 konidia/ml diduga disebabkan oleh kompetisi internal karena konsentrasi terlalu tinggi.

Sedangkan waktu aplikasi tidak berpengaruh terhadap tingkat mortalitas kumbang daun kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa penyemprotan langsung pada tubuh serangga maupun penyemprotan pada permukaan tanaman tidak memberikan efek yang berbeda. Fenomena ini menunjukkan bahwa infeksi jamur pada tubuh serangga diduga lebih banyak lewat oral bukan lewat penetrasi melalui integumen.

Dari analisis statistik diketahui bahwa tidak ada interaksi antara faktor konsentrasi konidia dengan waktu aplikasi.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

  1. Jamur bassiana cukup efektif sebagai agen hayati untuk mengendalikan larva kumbang daun kedelai dengan konsentrasi konidia paling efektif 10^8 konidia/ml.
  2. Waktu aplikasi tidak berpengaruh terhadap mortalitas inclusa.
  3. Tidak ada interaksi antara faktor konsentrasi konidia dengan waktu aplikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1992. Pedoman Pengamatan dan Pengendalian Hama Tanaman Kedele. Direktorat Perlinduingan Tanaman,  Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. Jakarta..

 

Barnett,H. L. and B. H. Barry, 1972. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Burgess Publishing Co,. Minneapolis.

Barron, L.G. and R.E. Krieger, 1972. The Genera of Hyphomycetes from Soil. Pub. Company, New York.

Hoffman, M. P. 1993. Natural Enemies of Vegetable Insect Pest. Cornell University.

Steinhaus, E. A. 1949. Principle of Insect Pathology. Mc. Graw-Hill Book Co., Inc., New York.

Roberts, D. W. And W. G. Yendol. 1971. Use of Fungi for Microbial Control of Insect. Dalam : H.D. Burgess and N.W. Hussey (Eds.). Microbial Control of Insect and Mites. Academic Press.

For all of my friends, please visit and subscribe my YouTube Channel, so your comments are not be deleted from my articles :

https://www.youtube.com/channel/UCkxHAj1EOglKbk9fX4-H3rg







CARA PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS KUNING PADA CABAI

 

Oleh: Kardi Raharjo

PENDAHULUAN

Penyakit Virus Kuning pada tanaman cabai (Capsicum annuum) disebabkan oleh  Begomovirus (Bean golden mosaic virus). Begomovirus termasuk kedalam famili Geminiviridae, yang merupakan kelompok terbesar penyebab penyakit pada tanaman (Gutierez, 202 cit. Trisno et al., 2010 ). Virus ini juga dapat menginfeksi tanaman tomat (Lycopersicum esculentum), tembakau (Nicotiana tabacum), kacang panjang (Vigna sinensis), dan gulma wedusan/babandotan (Ageratum conyzoides), dan lain-lain.

Akhir-akhir ini Penyakit Virus Kuning telah menyebar di berbagai daerah di Indonesia antara lain di di Provinsi DI. Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Bali, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Bengkulu, Kalimantan Timur dan Gorontalo (Hartono, 2005; Trisno et al., 2010). Selain di Indonesia, patogen penyakit ini juga telah dilaporkan menyerang tanaman cabai, tomat, dan tanaman inang lain di negara-negara antara lain: Thailand, Malaysia, Vietnam, Banglades, India, Spanyol, Filipina, Mexico, USA, Costa Rica, Cuba, Dominican Republic, El Salvador, Guatemala, Jamaica, Nicaragua, Panama, Puerto Rico, Argentina, Brazil, Colombia, dan Venezuela.

PATOGEN PENYAKIT

Penyakit Virus Kuning  disebabkan oleh  Gemini virus,  Genus: Begomovirus famili: Geminiviridae, Group II. Gemini virus mempunyai karakter morfologi dengan dua partikel isometric dan mempunyai genom ss DNA (Gutierez, 202 cit. Trisno et al., 2010 ). Geminivirus dicirikan dengan bentuk partikel kembar berpasangan (geminate) dengan ukuran sekitar 30 x 20 nm (Hartono, 2005). Karena kesamaan urutan nukleotida dalam genom yang mencapai 99%, maka dapat disimpulkan bahwa Begomovirus yang diisolasi dari tanaman tomat dan cabai dari Bogor, Jawa Barat dianggap virus yang sama (Tsai et. al., 2006).

Begomovirus mempunyai circular single-stranded DNA genomes. Variasi genom dan antigen virus banyak berkaitan dengan penyebaran geografi dan hanya  sedikit berkaitan dengan jenis tanaman inang. Variasi genom  yang dihasilkan dari mutasi ini diperkuat oleh akuisisi tambahan komponen DNA, pseudo rekombinasi dan rekombinasi intraspesifik dan interspesifik.  Rekombinasi, terutama interspesifik rekombinasi, tampaknya merupakan mekanisme kunci yang menghasilkan bentuk virus baru (Harrison and Robinson, 1999).

SERANGGA VEKTOR

Virus patogen penyakit virus kuning ditularkan dan disebarkan oleh serangga vektor Kutu Kebul / Kutu Putih  Bemisia tabaci (Gambar 1). Dalam tubuh serangga vektor, virus bersifat persisten selama 12 hari tapi virus tidak mengalami perbanyakan. Periode untuk akusisi (pengambilan) virus dari tanaman sakit 15-60 menit, periode inokulasi (penularan) penyakit 15-30 menit dan periode laten dalam tubuh serangga vektor selama 20-24 jam setelah akuisisi.

Gambar 1. Kutu Kebul B. tabaci : a. telur; b. nimfa dan imago; c. pupa

GEJALA PENYAKIT

Klorosis pada daun, tepi daun mengulung ke atas seperti mangkuk (cuping), daun keriting (curl) dan menguning, tanaman menjadi kerdil, bunga rontok (Gambar 2). Gejala penyakit pada tanaman lain bervariasi tergantung jenis tanamannya (Gambar 3-6).

Gambar 2. Gejala penyakit virus kuning pada cabai: a. sekitar 5 hari setelah inokulasi buatan; b. sekitar 10 hari setelah inokulasi buatan; c dan d gejala di lapangan. (Sumber: Laboratorium PHP Wilayah Kedu, Jawa Tengah. Tidak dipublikasikan).

Gambar 3. Gejala penyakit virus kuning pada tomat (Lycopersicum esculentum).

Gambar 4. Gejala penyakit virus kuning pada kacang panjang (Vigna sinensis).

Gambar 5. Gejala penyakit virus kuning pada tembakau (Nicotiana tabacum).

Gambar 6. Gejala penyakit virus kuning pada gulma babandotan (Ageratum conyzoides).

PENGENDALIAN PENYAKIT

Strategi pengendalian penyakit virus kuning pada cabai disusun dengan pendekatan konsepsi pengendalian hama penyakit terpadu (PHT). Komponen pengendalian yang dapat diterapkan adalah:

  1. Pemilihan lokasi yang jauh dari sumber serangan patogen penyakit.
  2. Pengolahan tanah yang baik.
  3. Sanitasi sumber inokulum pada gulma dan tanaman inang lain yang sakit.
  4. Pemupukan berimbang.
  5. Persemaian dalam sungkup kain kelambu.
  6. Penanaman tanaman tepi dengan tanaman jagung.
  7. Eradikasi tanaman sakit.
  8. Pengendalian serangga vektor kutu kebul (Bemisia tabaci).
  9. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang.
  1. Pemilihan lokasi yang jauh dari sumber serangan patogen penyakit

Berdasarkan teori epidemiologi penyakit tanaman, faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan populasi patogen dalam populasi tanaman inang adalah: sumber inokulum awal, virulensi patogen, tingkat kerentanan tanaman, agensia penyebar patogen, waktu, dan cuaca.

Untuk menghitung laju pertumbuhan populasi patogen (epidemi) suatu jenis penyakit tanaman yang mempunyai tipe bunga majemuk seperti penyakit virus kuning pada cabai, digunakan rumus:

  • Xt : populasi patogen (intensitas penyakit) pada waktu t
  • Xo : populasi patogen (intensitas penyakit) pada waktu awal (t=0)
  • e : bilangan alami =  7182818
  • r : laju (rate) penyakit
  • t : satuan waktu

Berdasarkan rumus tersebut di atas, maka tampak bahwa demikian besar peranan populasi patogen pada awal pertumbuhan tanaman, yang dinotasikan dengan X0, terhadap populasi patogen pada waktu t. Oleh karenanya langkah pemilihan lokasi yang jauh dari sumber serangan penyakit (sumber inokulum patogen) yang berupa tanaman cabai atau tanaman inang lain yang terserang penyakit, merupakan langkah yang sangat strategis dan efektif serta efisien.

  1. Pengolahan tanah yang baik

 Pengolahan tanah yang baik akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman menjadi optimal sehingga lebih tahan terhadap serangan patogen tanaman. Pengolahan tanah yang baik diharapkan dapat menghasilkan lahan yang gembur, halus, dan drainasenya lancar (selokan drainase sedalam 50 cm atau lebih) sehingga perakaran tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal karena tanah mudah ditembus akar, pupuk dapat terdistribusi secara merata, serta oksigen tersedia dalam jumlah cukup. Pengolahan tanah yang baik juga akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme yang bermanfaat bagi tanaman.

Gambar 7. Pengolahan lahan: a. awal; b. lahan siap ditanami.

     3. Sanitasi sumber inokulum pada gulma dan tanaman inang           lain yang sakit

Walaupun lahan yang digunakan sudah dipilih jauh dari sumber serangan patogen penyakit, namun tidak tertutup kemungkinan masih dijumpai sumber serangan penyakit pada gulma seperti babandotan ((Ageratum conyzoides). Gulma-gulma yang ada harus dibersihkan dan dipendam dalam tanah sedalam paling tidak 30 cm atau dibakar. Langkah ini akan dapat mengurangi sumber inokulum patogen atau dengan kata lain akan mengurangi X0 pada rumus epidemiologi  tersebut pada sub bab 1.

     4. Pemupukan berimbang.

Untuk mencapai pertumbuhan tanaman cabai yang optimal sehingga tidak mudah terserang berbagai jenis hama dan penyebab penyakit, dianjurkan tanaman dipupuk dengan dengan jenis dan dosis sebagai berikut:

  • NPK (N:P:K =15:15:15) = 850 kg/ha atau sekitar 50 gram/tanaman
  • Pupuk daun = 10 liter/ha
  • Pupuk kandang = 17 ton/ha atau sekitar 1 kg/tanaman.

Pemupukan dengan pupuk majemuk (NPK) lebih efisien tenaga kerja, komposisi unsur N, P, dan K nya lebih homogen serta lambat pelarutan pupuknya sehingga dapat mengurangi kehilangan pupuk karena perkolasi/aliran air ke dalam tanah. Tambahan pupuk daun diperlukan untuk menjamin ketersediaan unsur mikro esensial.

Sebelum digunakan, pupuk kandang terlebih dahulu diaplikasi dengan perombak (dekomposer) menggunakan EM4 (Effective Microorganism 4) atau merk dagang yang lain, yang prosesnya selama sekitar 14 hari.

     5. Persemaian dalam sungkup kain kelambu

Untuk mencegah penularan virus, dianjurkan agar persemaian diberi sungkup yang terbuat dari kain kelambu dengan kerangka yg terbuat dari bambu (Gambar 8).

Penularan virus yang terjadi pada persemaian akan menyebabkan intensitas penyakit yang tinggi pada akhir masa pertumbuhan tanaman, karena tersedia waktu yang panjang untuk pertumbuhan dan perkembangan penyakit, sebagaimana yang telah penulis jelaskan tentang teori epidemiologi penyakit pada sub bab 1. Dalam rumus epidemiologi, aspek waktu dinotasikan dengan t (time) Oleh karenanya langkah ini mempunyai nilai yang sangat strategis dalam menopang keberhasilan pengendalian penyakit virus kuning.

Sebelum ditanam bibit diseleksi terlebih dahulu, bibit yang menunjukkan gejala penyakit virus kuning tidak ditanam dan segera dimusnahkan agar tidak menjadi sumber inokulum.

Gambar 8. Persemaian cabai dalam sungkup kain kelambu

     6. Penanaman tanaman tepi (border) dengan tanaman jagung

Untuk menghambat masuknya serangga vektor penyakit (B. tabaci) ke dalam pertanaman cabai, dianjurkan pada tepi lahan ditanami tanaman jagung sebanyak 3 + 2 baris. Tiga baris ditanam 2 minggu sebelum penanaman cabai dan dua baris ditanam 1 minggu sebelum penanaman cabai (Gambar 9).

Selain berfungsi sebagai penghalang (border) masuknya serangga ke dalam pertanaman cabai, tanaman jagung juga dapat membantu konservasi musuh alami B. tabaci , antara lain  Kumbang Coccinellid yang menyukai polen bunga jagung sebagai makanan alternatif (Gambar 10).

Gambar 9. Penanaman jagung sebagai tanaman tepi (border).

Gambar 10. Kumbang Coccinellid pada tanaman jagung

     7. Eradikasi tanaman sakit

Dalam teori epidemiologi, sumber inokulum patogen (sumber serangan) yang berasal dari tanaman sakit mempunyai peranan penting dalam perkembangan populasi patogen (perkembangan intensitas penyakit). Dalam rumus epidemiologi dinotasikan sebagai X0, sama seoerti halnya dengan gulma yang terserang patogen penyakit.

Bagian tanaman (cabang atau ranting) yang sakit dipotong dan dimusnahkan (dipendam dalam tanah atau dibakar). Bila keseluruhan individu tanaman sudah sakit (sistemik), tanaman dicabut dan dimusnahkan.

     8. Pengendalian serangga vektor kutu kebul (Bemisia tabaci)

Peranan vektor penyakit (B. tabaci) adalah meningkatkan r (rate) atau laju perkembangan intensitas penyakit. Pengendalian vektor dilakukan dengan cara:

  • Konservasi musuh alami, seperti penanaman jagung sebagai tanaman tepi.
  • Penyemprotan dengan suspensi jamur entomopatogen seperti Metarrhizium anisopliae konsentrasi spora/ml.
  • Aplikasi insektisida.

 9. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang

Untuk menekan siklus perkembangan penyakit dianjurkan pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang penyakit virus kuning. Bila lahan memungkinkan sebaiknya pergiliran tanaman dengan tanaman padi. Cabai yang ditanam setelah tanaman padi akan dapat menekan penyakit virus kuning dan hama penyakit yang lain. Selain itu, kondisi agronomis lainnya juga akan optimal, sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta produktivitasnya juga akan optimal.

Please visit and subcribe my Youtube Channel https://www.youtube.com/channel/UCkxHAj1EOglKbk9fX4-H3rg

 








Eksplorasi, Pengujian, dan Identifikasi Khamir Antagonis Terhadap Patogen Antraknos (Colletrotichum lagenarium) pada Semangka

Kardi Raharjo
PT. Prana Ardita, Temanggung

Christanti Sumardiyono
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada

Nursamsi Poesposendjojo
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada

Sismindari
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada

ABSTRACT

Phyllosphere is one of habitat of yeast and the other microorganism included an antagonistic microorganism. The antagonistic yeasts have been isolated from watermelon phyllosphere on YM Agar medium. There are 30 isolates of yeast have been found.

The pure culture of virulent isolate I15 of C. lagenarium used for testing the antagonistic ability of yeast isolates. Two yeast isolates namely K10 and K35 have highest ability to inhibit growth and development of C. lagenarium colony. From microscopic observation, the isolates K10 and K35 caused deflated on C. lagenarium hyphe. The result of identification of K10 is Candida sp. and K35 is Sirobasidium sp

 Keywords: yeast, Candida, Sirobasidium, Colletotrichum, watermelon

INTISARI

Filosfer merupakan salah satu habitat khamir dan mikroorganisme lain yang beberapa di antaranya merupakan mikroorganisme antagonis. Khamir antagonis terhadap C. lagenarium diisolasi dari filosfer semangka dengan medium YM Agar. Dari 30 isolat khamir yang diperoleh, diuji kemampuan antagonisme-nya pada Colletotrichum  lagenarium isolat I15 yang virulen terhadap tanaman semangka. Dari hasil pengujian ini diketahui dua isolat khamir yakni K10 dan K35 mempunyai kemampuan tertinggi dalam menghambat pertumbuhan dan perkembangan C. lagenarium. Berdasarkan pengamatan mikroskopi diketahui terjadi parasitisme pada miselium C. lagenarium oleh isolat khamir K10 dan K35 dengan gejala pengempisan hifa.

Hasil identifikasi berdasarkan morfologi koloni, organ vegetatif, organ reproduksi aseksual dan seksual diketahui bahwa K10 adalah Candida sp. dan K35 adalah Sirobasidium sp.

Kata kunci: Khamir, Candida, Sirobasidium, Colletotrichum, semangka

 *) Sebagian hasil penelitian untuk penyusunan disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

 PENGANTAR

Penyakit antraknos merupakan salah satu penyakit penting pada semangka (Sherf dan Macnab, 1986; Semangun, 1991; Sitterly dan Keinath, 1996). Penyakit ini sudah diketahui dan dilaporkan di Italia pada tahun 1867 (Sitterly dan Keinath, 1996). Menurut Sherf dan Macnab (1986) penyakit ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi antara 30-35 persen.

Penyebab penyakit  antraknos pada semangka adalah jamur Colletotrichum lagenarium (Sherf dan Macnab, 1986; O’Connell, 1991;  Semangun, 1991;O’Connell, et al., 1992; Esquerre et al., 1992; Jeffries and Koomen. 1992; Sitterly dan Keinath, 1996) sinonim dengan C. orbiculare (  Sherf dan Macnab, 1986; Sitterly dan Keinath, 1996; Zitter, 1987; Zitter et al., 1998). Jamur ini membentuk stadium teleomorph dengan nama Glomerella lagenarium (Sitterly dan  Keinath,  1996)  sinonim  dengan  G. cingulata  (Semangun, 1991), G. cingulata var orbiculare (Sherf dan Macnab, 1986) yang jarang dijumpai di alam.

Di Indonesia, belum pernah dilakukan penelitian pengendalian penyakit ini, terutama menggunakan mikroorganisme antagonis sebagai agen hayati. Campbell (1989) menyatakan bahwa pengendalian hayati mempunyai arti penting dalam upaya pengendalian penyakit tumbuhan karena mempunyai beberapa keunggulan antara lain biayanya murah, aman terhadap pekerja, konsumen produk pertanian, dan lingkungan serta mempunyai efek pengendalian yang berkelanjutan. Menurut Jacobsen (1997), dalam hubungannya dengan implementasi PHT (Pengendalian Hama Terpadu), pengendalian hayati merupakan salah satu komponen utama karena PHT merupakan konsep dengan pendekatan yang memaksimalkan peranan pengendalian alamiah  .          

Sebagai negara yang berada di daerah tropis, Indonesia memiliki potensi sumber keaneka-ragaman mikroorganisme yang tinggi, sehingga terdapat peluang yang besar untuk diperoleh mikroorganisme antagonis yang efektif untuk mengendalikan penyakit antraknos pada semangka.

Filosfer merupakan salah satu habitat mikroorganisme saprofit. Beberapa di antaranya merupakan mikroorganisme antagonis (Preece and Dickinson, 1971). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh  Tantawi et al. (1993) terdapat 26 spesies jamur yang berhasil diisolasi dari daun karet yang berasal dari kebun pembibitan karet  Pusat Penelitian Perkebunan Getas. Menurut Leben (1971) pada daun apel terdapat banyak spesies jamur benang dan khamir, di mana 80-90 % di antaranya merupakan khamir. Beberapa jenis khamir (Cryptococus infirmo-miniatus, C. laurentii, Rhodotorula glutinis) efektif untuk mengendalikan penyakit pascapanen pada buah pear (Benbow dan Sugar, 1999).

Sebagaimana telah dilaporkan oleh peneliti-peneliti sebelumnya  bahwa mikroorganisme antagonis  dapat  menekan  pertumbuhan dan perkembangan  patogen melalui  mekanisme  antibiosis  (pembentukan   antibiotik, bakteriosin,  toksin  dan  enzim hidrolisis), parasitisme, dan kompetisi  (Wells, 1986; Cabib, 1987; Ohtakara et al., 1988; Crawford, 1999; Elad et al., 1999; Johnson dan Dileon, 1999; Mazzola, 1999; Raaijmakers et al., 1999; Sabaratnam, 1999; Singh et al., 1999; Xu et al., 1999; Yedidia et al., 1999; Zhang et al., 1999; Kriger, 2000; Mathivanan et al., 2000; Selitrennikoff, 2001; Suzuki et al., 2000; Tsujibo et al., 2000; Velazhahan et al., 2000; Yoon et al., 2001).

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, akan dilakukan penelitian untuk mengeksplorasi dan menseleksi khamir antagonis dari filosfer yang efektif untuk menekan pertumbuhan dan perkembangan patogen antraknos (C. lagenarium).

BAHAN DAN METODE

   1. Isolasi Khamir dari Filosfer 

a. Pembuatan suspensi propagul khamir filosfer

Dua lembar daun semangka yang sehat diambil dari tanaman yang berumur 30-60 HST dari pertanaman semangka di kabupaten Temanggung, Purworejo, dan Magelang. Daun yang diambil adalah daun tertua karena pada daun tua terdapat populasi jamur dan khamir yang lebih tinggi dibandingkan dengan daun muda (Tantawi et al., 1993). Daun selanjutnya dipotong-potong dengan diameter 0,5 cm menggunakan bor gabus. Pada setiap daun diambil 5 potongan dari helaian bagian kanan dan 5 potongan dari helaian bagian kiri daun. Duapuluh potongan daun yang berasal dari 2 daun dari tanaman yang sama selanjutnya dimasukkan ke dalam 100 ml air steril dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian dikocok pada meja shaker selama 30 menit untuk melepaskan mikroorganisme dari permukaan daun (Dickinson, 1971).

b. Satu ml suspensi propagul tersebut selanjutnya dicampur dengan medium YM agar (3 g ekstrak malt, 5 g peptone, 10 g glukosa, 20 g agar, 40 mg khloramfenikol, 1 l air) yang masih mencair (suhu ± 45 derajat C) dan kemudian dituangkan ke dalam petridis. Campuran tersebut diinkubasikan pada suhu kamar selama 24-48 jam. Semua koloni yang tumbuh yang diduga khamir dipisahkan satu dengan yang lain berdasarkan warna, bentuk, dan ciri-ciri yang lain (van der Walt dan Yarrow, 1987) dengan cara memindahkan pada medium yang baru. Reisolasi dilakukan 2-4 kali sampai diperoleh biakan murni. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium PHPTPH Wilayah Kedu di Temanggung.

      2. Pengujian Daya Antagonisme dan Gejala Parasitisme

Pengujian dilakukan dengan modifikasi metode yang dilakukan oleh Campbell (1989) dengan prosedur sebagai berikut:

a. Isolat mono spore lagenarium I15 yang telah diuji dalam penelitian sebelumnya dan terbukti mempunyai virulensi tertinggi diantara isolat yang diuji digunakan dalam penelitian ini Biakan murni C. lagenarium berumur 5 hari pada medium YM agar ditetesi dengan suspensi khamir dengan konsentrasi 10^6 sel/ml. Penetesan dilakukan menggunakan pipet mikro pada 5 posisi, masing-masing ditetesi dengan 0,02 ml suspensi (gambar 1). Tiap perlakuan terdiri dari tiga ulangan.

b. Luas koloni khamir dan lagenarium diukur menggunakan plastik transparan yang pada permukaannya telah dibuat garis membujur dan melintang yang membentuk kotak-kotak berukuran 1 x 1 mm.

c. Pengamatan parasitisme

  1. Secara makroskopis. Cara kontak antara koloni khamir dengan lagenarium: diamati pada areal yang saling bersinggungan.
  2. Secara mikroskopis. Pengamatan kontak antara sel khamir dengan hifa lagenarium: sel khamir menempel atau masuk ke dalam hifa C. lagenarium. Pengamatan dilakukan juga pada perubahan morfologi hifa jamur.
  3. Pengamatan dilakukan tiap hari sekali dimulai 3 hari setelah perlakuan sampai dengan 8 hari setelah perlakuan.

Dari data yang diperoleh dipilih khamir yang mempunyai daya penghambatan yang tinggi melalui mekanisme parasitisme. Penelitian dilakukan di Laboratorium PHPTPH Wilayah Kedu.

     3. Identifikasi Khamir Antagonis Terpilih

Dua isolat khamir antagonis terpilih yang diperoleh dari kegiatan nomor 5 diidentifikasi sampai genus. Menurut van der Walt dan Yarrow (1987), khamir dapat diindentifikasi genusnya dengan pengamatan karakteristik:

A. Reproduksi aseksual (vegetatif)

  1. Cara reproduksi vegetatif

Reproduksi  vegetatif dapat terjadi  melalui  proses  pertunasan, pembelahan, atau gabungannya.

2. Karakteristik sel vegetatif

  • Morfologi sel vegetatif pada media YM cair dan media YM padat.
  • Pembentukan miselium semu (pseudomycelium) dan miselium sejati ( true mycelium), endospora aseksual, klamidospora, buluh kecambah, ballistospora.
B. Reproduksi seksual
  • Karakteristik pembentukan askospora
  • Karakteristik pembentukan basidiospora

Dari data tersebut di atas, selanjutnya khamir diidentifikasi menggunakan kunci determinasi seperti tertera pada lampiran II (van der Walt dan Yarrow (1987)

 HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Isolasi Khamir dari Filosfer

Dari kegiatan isolasi khamir dari daun semangka sehat  menggunakan medium YM Agar telah diperoleh 30 isolat yakni K2, K3, K7, K8, K9, K10, K11, K13, K15, K17, K19, K21,K 22, K23, K24, K26, K29, K30, K31, K32, K34, K35, K36, K37, K38, K39, K40, K41, K42, dan K43. Tiga puluh isolat khamir ini digunakan untuk penelitian selanjutnya.

2. Pengujian Daya Antagonisme dan Gejala Parasitisme

a. Pengamatan makroskopis

Untuk menguji daya antagonisme isolat khamir digunakan isolat C. lagenarium I15 pada medium YM Agar. Tiap perlakuan terdiri dari 3 ulangan.

Berdasarkan pengamatan luas koloni C. lagenarium sampai dengan 8 hari setelah perlakuan, terdapat dua isolat khamir yakni K10 dan K35 yang menunjukkan kemampuan paling tinggi dalam  menekan pertumbuhan dan perkembangan C. lagenarium (gambar 2 dan tabel 1).

Tabel 1. Luas koloni  C. lagenarium (cm2) hasil pengujian parasitisme

Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji Duncan pada taraf 5 %.

b. Pengamatan mikroskopis

Pengamatan mikroskopis gejala parasitisme dilakukan pada khamir terpilih (K10 dan K35), dengan hasil sebagai berikut:

Khamir K10

Berdasarkan pengamatan makroskopi pada bagian miselia C. lagenarium yang bersinggungan dengan koloni khamir K10 menunjukkan terjadinya perubahan warna dari semula putih berubah menjadi coklat (gambar 2 A). Bila miselia pada bagian ini diamati di bawah mikroskop tampak sel-sel khamir menempel pada hifa C. lagenarium yang menyebabkan hifa mengempis (gambar 3).

Khamir K35

Berdasarkan pengamatan makroskopi pada bagian miselium C. lagenarium yang bersinggungan dengan koloni khamir K35 menunjukkan terjadinya perubahan warna dari semula putih berubah menjadi hitam (gammbar 2 B). Bila miselium pada bagian ini diamati di bawah mikroskop tampak adanya gejala pengempisan hifa yang tidak merata sehingga tampak lekukan-lekukan (gambar 4).

2. Identifikasi Khamir Antagonis Terpilih

 a. Khamir K10

  1. Morfologi koloni

Koloni khamir K10 berwarna kuning kecoklatan pada bagian pinggir dengan bagian tengahnya berwarna kuning tua sehingga membentuk lingkaran dalam lingkaran (gambar 5)

  1. Morfologi sel vegetatif

Morfologi sel khamir K10 pada media YM agar berbentuk lonjong dengan ujung runcing berukuran (1-1,5) x (5-9) μm, hialin, sel yang masih muda tidak bersekat setelah dewasa bersekat (gambar 6).

  1. Reproduksi aseksual

Berdasarkan pengamatan mikroskopis, khamir ini membentuk miselium semu (pseudomycelium) tipe Mycocandida yang membentuk blastospora (gambar 7).

Khamir K10 juga membentuk miselium sejati (true mycelium) yang bercabang-cabang dan arthrospora (arthrokonidia) yang terbentuk  dari fragmentasi miselium sejati. Arthrospora berbentuk agak bulat dengan ukuran (1,5-2) x (5-6) μm, kemudian memanjang dan membelah diri (gambar 8).

Pembentukan tunas merupakan cara reproduksi yang paling penting pada khamir K10. Pada umumnya tunas dibentuk secara monopolar (gambar 9) dan kadangkala secara bipolar. Sel khamir dewasa tidak memperbanyak diri dengan pembelahan sel, kecuali pada sel arthrospora.

4. Reproduksi seksual

Pada khamir ini belum dijumpai adanya organ reproduksi seksual baik askospora maupun basidiospora.

  1. Nama genus khamir

Berdasarkan ciri-ciri morfologi koloni, bentuk sel khamir, dan bentuk blastospora tersebut di atas, khamir K10 mirip dengan Candida boidinii. Menurut Meyer et al. (1987) sel C. boidinii berbentuk oval lonjong  sampai silindris atau kadang-kadang berbentuk agak bulat, ukuran (1,5-3-5) x (7-12) μm, koloni krem kekuningan, lembab sampai kering, lunak, lembut berkerut. Miselium semu terdiri dari hifa semu berukuran pendek sampai agak panjang, membentuk percabangan, dan memproduksi blastospora berbentuk oval.

Berdasarkan kemiripan antara khamir K10 dengan C. boidinii tersebut dapat disimpulkan bahwa khamir K10 adalah Candida sp (familia Cryptococcaceae, form-ordo Cryptococcales, sub kelas Blastomycetidae, kelas Deuteromycetes, sub devisi Deuteromycotina, devisi Amastigomicota, kingdom Myceteae).

b. Khamir K35

  1. Morfologi koloni

Koloni khamir K35 yang masih muda berwarna putih keunguan, kemudian berubah menjadi ungu dan akhirnya menjadi coklat kehitaman pada saat tua. Pada biakan murni pada umur 5 hari mulai membentuk benang-benang miselium berwarna putih (gambar 9).

  1. Morfologi sel khamir

Khamir K35 berbentuk batang pendek, ujung agak runcing sampai tumpul, hialin, dengan ukuran (2-3) x (4-5) μm (gambar 10).

  1. Reproduksi aseksual

Berdasarkan hasil pengamatan, khamir K35 dapat membentuk miselium semu yang tidak berlanjut dengan pembentukan blastospora. Miselium semu yang demikian disebut dengan buluh kecambah (germ tube). Khamir ini juga membentuk miselium sejati (gambar 11).

Arthrospora dibentuk oleh khamir ini dengan ukuran yang lebih panjang dari sel induk. Arthrospora ini selanjutnya memanjang lagi dan membelah menjadi dua sel (gambar 12). Cara reproduksi dengan pembelahan sel tidak hanya terjadi pada sel arthrospora namun juga terjadi pada sel khamir dewasa yang lain. Khamir ini juga membentuk balistospora (gambar 13). Pembentukan tunas pada khamir K35 merupakan cara reproduksi aseksual yang penting. Pembentukan tunas terjadi secara monopolar (gambar 14).

  1. Reproduksi seksual

Khamir K35 dapat membentuk basidium dengan 4 basidiospora. Basidium terbentuk pada basidiokarp pada sekat hifa sejati dengan ukuran (3-4,5) x (6-7,5) mm. Hifa sejati yang membentuk basidium mengalami pembesaran 5-6 kali diameter hifa normal. Pada tiap sekat hifa terbentuk dua basidia (gambar 15).

  1. Nama genus khamir

Berdasarkan bentuk sel khamir, basidiokarp, basidium dan basidiospora, dapat disimpulkan bahwa khamir K35 adalah Sirobasidium sp. (familia Sirobasidiaceae, ordo Tremellales, kelas Basidiomycetes, sub devisi Basidiomycotina, devisi Amastigomycota, kingdom Myceteae (Alexopoulos dan Mim, 1979; Bandoni, 1987 ).

KESIMPULAN
  1. Telah diperoleh 30 isolat khamir dari hasil kegiatan isolasi dari daun semangka yang diambil dari beberapa lokasi pertanaman semangka di kabupaten Temanggung, Magelang, dan Purworejo.
  2. Isolat khamir K10 dan K35 menunjukkan kemampuan menekan pertumbuhan dan perkembangan lagenarium yang paling tinggi dibandingkan dengan isolat lain yang diuji. Dua isolat ini menunjukkan kemampuan menimbulkan gejala parasitisme terhadap C. lagenarium yang berupa pengempisan hifa.
  3. Berdasarkan hasil identifikasi diketahui nama genus khamir K10 adalah Candida sp dan khamir K35 adalah Sirobasidium sp.

DAFTAR PUSTAKA

Benbow, J. M. and D. Sugar. 1999. Fruit Surface Colonization and Biological Control of Postharvest Diseases of Pear by Preharvest Yeast Application. Plant Disease 83(6): 839-844.

Cabib, E. 1987. The Synthesis and Degradation of Chitin. In  A. Meister (ed.). Advances in Enzymology. And Related Area of Molecular Biology. John Wiley & Sons. New York, Toronto. 59-101 pp.

Campbell, R. 1989. Biological Control of Microbial Plant Pathogens. Cambridge University Press, Cambridge, New York, Sydney.169-183 pp.

Crawford, D. L. 1999. Mechanism of Biocontrol of Fungal Root Pathogens in The Rhizosphere by Streptomyces lydicus WYEC108. Dissertation Abstracts. University of Idaho. 70 p.

Dickinson, C. H. 1971. Cultural Studies of Leaf Saprophytes. In T. F. Preece and C. H. Dickinson (Eds.). Ecology of Leaf surface Microorganism. Academic Press. London. New York. 129-157 pp.

Elad, Y., D. R. David, T. Levi, A. Kapat, B. Kirshner, E. Guvrin and A. Levine.1999. Trichoderma harzianum T 39. Mechanisms of Biocontrol of Foliar Pathogens. In   I. Lyr, P. E.

Russell and H. B. Modern (Eds.). Fungicide and Antifungal Compounds II. 12th International Reinhardsbrunn Symposium May 24 th – 29 th  1999. Friedrichroda, Thuringia, Germany. Intercept, Andover, Hants, SP 10 1YG, UK. 459-467 pp.

Esquerre-Tugaye, M. T., D. Mazau, J. P. Barthe, C. Lafitte, and A. Touze. 1992. In Colletotrichum. In J. a. Bailey and M. J. Jeger (eds.). Colletrotichum: Biology, Pathology and Control. CAB International. Melksham. 67-87 pp.

Jacobsen, B. J.  1997. Role of Plant Pathology in Integrated Pest Management. Annu. Rev. Phytopath. 35: 373-391.

Jeffries, P. and I. Koomen. 1992. Strategies and Prospects for Biological  Control of  Diseases Caused by Colletotrichum. In J. A. Bailey and M. J. Jeger (Eds.). Colletotrichum. Biology, Pathology  And Control. C. A. B. International. Melksham. 337-357 pp.

Johnson, K. B. and J. A. Dileon. 1999. Effect of Antibiosis on Antagonist Dose Plant Disease Response Relationships for the Biological Control of Crown Gall of Tomato and Cherry. Phytophatology  89(10): 974-980.

Kriger, P. S. 2000. Regulation of Alpha-1,3-glucanase and Other Polysaccharide-degrading Enzymes From Trichoderma harzianum. Dissertation Abstracts. The University of Rochester. 218 p.

Leben, C. 1971. The Bud in Relation to Epiphytic Microflora. In T. F. Preece and C. H. Dickinson (eds.). Ecology of Leaf Surface. Academic Press. New York. 117-127 pp.

Mathivanan, N., V. Kabilan, and K. Murugesan. 2000. Purification, Characterization, and Antifungal Activity of Chitinase from Fusarium chlamydosporum, A Mycoparasite to Groundnut Rust, Puccinia arachidis. Can. J. Microbiol. 44(7): 646-651.

Mazzola, M. 1999. Transformation of Soil Microbial Community Structure and Rhizoctonia-Suppressive Potential in Response to Apple Roots. Phytophatology 89(10): 920-927.

Meyer, S. A.,  D. G. Ahearn, and D. Yarrow. 1987. Candida Berkhout. In N. J. W. Kreger-van Rij (ed.). The Yeast, A Taxonomic Study. Third Revised and Enlarger Edition. Elsevier Science Publishers B. V. Amsterdam. 585-844.

O’Connell, R. J. 1991. Cytochemical Analysis of Infection Structures of Colletotrichum lindemuthianum Using Fluorochrome-labelled Lectins. Physiol.  Mol. Plant Pathol. 39 (5):189-200.

O’Connell, R. J. , C. Nash and J. A. Bailey. 1992. Lectin Cytochemistry: A New Approach to Understanding Cell Differentiation, Pathogenesis  And Taxonomy. In Colletotrichum. In J. a. Bailey and M. J. Jeger (eds.). Colletrotichum: Biology, Pathology and Control. 67-87 pp.

Ohtakara, A., M. Izume and M. Mitsutomi. 1988. Action Microbial Chitinases on Chitosan with Different Degrees of Deacetylation. Agric. Biol. Chem. 52(12): 3181-3182.

Preece, T. F. and C. H. Dickinson. 1971. Ecology of Leaf Surface Microor-ganism. Academic Press. London. New York

Raaijmakers, J. M. R. , R. F. Bonsall, and D. M. Weller. 1999. Relationship Beetween Root Colonization and In Situ Antibiotic Production by Pseudomonas  fluorescens. Phytopathology 89(6): abstract supplement S63.

Sabaratnam, S. 1999. Biological Control of Rhizoctonia Damping-Off of Tomato With a Rhizosphere Actinomycete. Dissertation Abstracts. The University Of Western Ontario, Canada. 209 p.

Selitrennikoff, C. P. 2001. Antifungal Protein. Appl. Environ. Microbiol. 67(7):2883-2894 pp.

Semangun, H.  1991.  Penyakit-penyakit  Penting   Tanaman Hortikultura Di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakata. 850 p.        

Sherf, A. F. and A. A. Macnab. 1986. Vegetable Diseases and Their Control. Second Edition. Jhn Wiley & Sons. New York.

Singh, P. P. , Y. C. Shin, C. S. Park ,and Y. R. Chung. 1999. Biological Control of Fusarium Wilt of Cucumber by Chitinolytic Bacteria. Phytopathology 89(1): 92-99.

Sitterly, W. R. and A. P. Keinath. 1996. Antracnose. In Compendium of Cucurbit Diseases. APS Press. New York.

Suzuki, K. , T. Uchiyama, M. Suzuki, N. Nikaidou, M. Regue, and T. Watanabe. 2000. LysR-type Transkripsional Regulator ChiR is Essential for Production of All Chitinase and A Chitin-Binding Protein, CBP 21, in Serratia marcescens  2170. Biosci. Biotechnol. Biochem. 65(2): 338-347.

Tantawi, A. R. , A. Harsojo, H. Semangun. 1993. Jamur Filoplan Tanaman Karet. Tesis S2 Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta.

Tsujibo, H. T. Okamoto, N. Hatano, K. Miyamoto, T. Watanabe, M. Mitsutomi, and Y. Inamori. 2000. Family 19 Chitinase from Streptomyces thermovilaceus OPC-520: Molecular Cloning and Characterization. Biosci. Biotechnol. Biochem. 64(11): 2445-2453.

Van der Walt, J. P. and D. Yarrow. 1987. Methods for the Isolation, Main- tenance, Classification and Identification of Yeast. In N. J. W. Kreger-van Rij (ed.). The Yeasts. A Taxonomic Study (third revised and enlarged edition). Elsevier Science Publisers B. V. Amsterdam. 45-104 pp.

Velazhahan, R., R. Samiyappan, and P. Vidhyasekaran. 2000. Purification of Elicitor-Inducible Antifungal Chitinase from Suspension-Cultured Rice Cells. Phytoparasitica 28 (2): 1-9

Wells, H. D. 1986. Trichoderma as A Biocontrol Agent. Dalam K. G. Mukerji and K. L. Garg. CRC Press, Inc, Boca Raton, Florida. 71-82 pp.

Xu, T. , G. E. Harman, Y. L. Wang, and Y. Shen. 1999. Bioassay of Trichoderma harzianum strains for Control of Rice Sheath Blight Phytopathology  89(6): abstract supplement S86.

Yedidia, I., N. Benhamou, and I. Chet. 1999. Induction of Defence Respone in Cucumber Plants (Cucumis sativus L.) by The Biocontrol Agent Trichoderma harzianum. Appl. Environ. Microbiol 65(3):1061-1070.

Yoon, H. G.,  H. Y. Kim, H. K. Kim, B. S. Hong, D. H. Shin, and H. Y. Cho. 2001. Thermostable Chitosanase From Bacillus sp. Strain CK4: Its Purification, Characterization, and Reaction Patterns. Biosci. Biotechnol. Biochem., 65 (4): 802-809.

Zhang, J. X. ,B. D. Bruton, and C. L. Biles. 1999. Relationship of Cell Wall  degrading Enzymes to Virulence of Didymella bryoniae. Phytophato-logy 89(6): abstract supplemet S89.

Zitter, T. A. 1987. Vegetable Crop. An Antracnose of Cucurbits. Cornell Univ. Ithaca, NY.  Vegetable MD Online. http://ppathw3.cals.cornell.edu/extensio…ases/factsheets/cucurbit-antracnose.hatm.

Zitter, T. A., D. L. Hopkins, and C. E. Thomas. 1998. Compendium of cucurbit Diseases. APS Press. Minnesota.

 

LAMPIRAN

 

Gambar 1. Posisi penetesan suspensi khamir (kh) pada koloni C. lagenarium (cl)

Gambar 1. Posisi penetesan suspensi khamir (kh) pada koloni C. lagenarium (cl)

Gambar 2. Penghambatan pertumbuhan C. lagenarium oleh khamir K10 (A);  K35 (B); dan kontrol (C) pada empat hari setelah perlakuan, khamir (kh), C. lagenarium (cl)

Gambar 3. Gejala parasitisme pada hifa C. lagenarium oleh khamir K10,: hifa terparasit oleh khamir (ht), hifa sehat (hs), sel khamir (kh), dan konidium C. lagenarium (ccl)

Gambar 4. Parasitisme pada hifa C. lagenarium oleh khamir K35  dengan gejala hifa mengempis (a) dan bagian hifa yang belum mengempis (b).

Gambar 5. Koloni khamir K10 umur  6 hari pada media YM agar

Gambar 6. Sel khamir K10 umur 6 hari pada media YM agar, tunas (t)

Gambar 7. Khamir K10: miselium semu yang memproduksi blastospora tipe blastodendrion: miselium semu pada pangkal (a) dan ujung (b) rangkaian blastospora.

Gambar 8. Khamir K10: miselium sejati (a), miselium sejati yang bercabang (b), arthrospora (c), sel arthrospora pada bagian ujung yang memanjang dan akan membelah diri (d).

 Gambar 9. Koloni khamir K35 umur 6 hari pada media YM agar.

Gambar 10. Khamir K35  umur 6 hari pada media YM agar.

Gambar 11. Buluh kecambah (a) dan miselium sejati (b) pada khamir K35

Gambar 12. Arthrospora (a) dan sel arthrospora yang memanjang dan membelah diri (b)

Gambar 13. Pembelahan sel (a), balistospora (b) pada khamir K35

Gambar 14.  Pembentukan tunas pada khamir K35 secara monopolar

Gambar 15. Basidium pada sekat hifa (a), basidium dengan 4 basidiospora (b), pada khamir K35

For all of my friends, please visit and subscribe my YouTube Channel, so your comments are not be deleted from my articles :

https://www.youtube.com/channel/UCkxHAj1EOglKbk9fX4-H3rg



 



 

Cara Mengecambahkan Benih Semangka Tanpa Biji

Oleh : Kardi Raharjo

Pendahuluan

Keberhasilan pengecambahan benih semangka tanpa biji merupakan tahapan pekerjaan yang sangat menentukan keberhasilan budidaya tanaman semangka. Oleh karenanya perlu dilakukan secara cermat sesuai dengan metode yang sudah teruji. Dalam artikel ini penulis menyusun metode sederhana yang dapat dilakukan oleh para petani, menggunakan bahan dan alat yang mudah diperoleh di lingkungan pedesaan serta sudah teruji efektivitasnya.

Bahan/Alat:

1. Kotak Tempat Kue, dengan ukuran sesuai kebutuhan.
2. Kertas Koran
3. Air dingin masak
4. Air Mendidih
5. Lampu 15 W
6. Kantong plastik Hitam

Urutan Kerja:

1. Kertas koran dipotong-potong menggunakan gunting, dengan ukuran sesuai dengan ukuran kotak kue yang digunakan. Dibuat 20 lembar, untuk digunakan sebagai alas sebanyak 10 lembar dan 10 lembah sisanya digunakan sebagai penutup di atas benih yang dikecambahkan.

2. Kertas koran yang sudah dipotong-potong tersebut dimasukkan ke dalam kotak kue dan dituangi air mendidih dan kotak ditutup rapat dengan penutupnya. Dibiarkan selama 15 menit. Langkah ini bertujuan untuk sterilisasi kertas koran dan kotak yang digunakan agar jamur dan bakteri mati. Setelah dingin, kertas koran diperas agar kandungan airnya tidak berlebihan.

3. Benih semangka yang sudah disiapkan, dibuka ujungnya dengan menggunakan pemotong kuku. Setelah semua benih selesai dibuka ujungnya, kemudian benih direndam dalam air dingin masak (suhu ruangan). Air sebelumnya sudah dimasak sampai mendidih (seperti merebus air untuk air minum). Setelah dingin baru digunakan untuk merendam benih. Perendaman dilakukan selama 30-60 menit. Kemudian benih diambil dengan saringan dan ditiriskan agar tidak berlebihan airnya.

4. Kemudian benih ditata satu lapis di atas 10 lembar kertas koran basah dan ditutup dengan 10 lembar kertas koran basah yang lain, dalam kotak kue yang sudah disiapkan dalam langkah kerja tersebut angka 2. Kemudian kotak ditutup rapat dengan penutupnya dan dimasukkan ke dalam kantong plastik berwarna hitam dan diikat rapat. Kemudian kotak dalam kantong plastik hitam tersebut diletakkan dibawah lampu 15 w dengan jarak sekitar 15 cm, dan lampu dinyalakan terus menerus selama 40 – 48 jam.

5. Setelah 40-48 jam benih akan berkecambah dengan panjang akar kecambah sekitar 1-1,5 cm dan siap disemai di dalam polibag semai yang berisi media semai yang terdiri dari campuran tanah dan pupuk kandang yang sudah diayak halus, dengan perbandingan tanah:pupuk kandang = 1:1.

Gambar 1. Kotak tempat kue dan potongan kertas koran yang yang dipotong-potong sesuai dengan ukuran kotaknya.

Gambar 2. Kotak kue yang berisi potongan-potongan kertas koran dituangi air mendidih agar kotak dan kertas koran steril. Dibiarkan selama 15 menit.

Gambar 3. Benih semangka tanpa biji yang sudah dibuka ujungnya dengan pemotong kuku, direndam dalam air dingin matang selama 30-60 menit.

Gambar 4. Benih yang sudah direndam dalam air dingin matang selama 30-60 menit, disaring dengan saringan teh dan selanjutnya ditata diatas kertas koran yang sebelumnya sudah disterilisasi dengan air panas. Catatan : saat digunakan kertas koran harus sudah dalam keadaan dingin.

Gambar 5. Di atas benih yang sudah ditata seperti pada gambar 4, di atasnya ditutup dengan 10 lembar kertas koran basah dan kotak ditutup rapat agar kelembapan stabil.

Gambar 6. Kotak seperti tersebut pada gambar 5 kemudian dimasukan ke dalam kantong plastik hitam dan ditempatkan di bawah lampu 15 w, jarak sekira 15 cm dan diinkubasikan 40 – 48 jam.

Gambar 7. Benih semangka tanpa biji yang diinkubasikan selama 48 jam dan berkecambah serempak, sehat, dan persentase kecambahnya bisa mencapai 90 % atau lebih.

Catatan:

  • Prinsip dasar : agar benih dapat berkecambah dengan optimal diperlukan kondisi lembap, hangat, dan gelap.
  • Kertas koran bisa diganti dengan tissu tahan air (yang bisa dicuci dan tidak hancur) atau kertas kecambah, yang bisa dibeli di toko-toko online.

For all of my friends, please visit and subscribe my YouTube Channel, so your comments are not be deleted from my articles :

https://www.youtube.com/channel/UCkxHAj1EOglKbk9fX4-H3rg